Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas, Realistis atau Utopis?


Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas, Realistis atau Utopis?

Oleh: Apriani, S.Pd (Praktisi Pendidikan)

Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) mengatakan, keluarga adalah penentu dan kunci dari kemajuan suatu negara. Maka dari itu, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menyiapkan keluarga Indonesia yang berkualitas dan memiliki daya saing.

 

Hal tersebut disampaikan dalam pidato mewakili Presiden RI Joko Widodo pada puncak Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31 Tahun 2024. Dengan tema, “Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas.” yang dilaksanakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Lapangan Simpang Lima Semarang, Sabtu,29/6/2024.

 

Muhadjir menjelaskan, pemerintah tengah menyiapkan keluarga yang berkualitas. Dimulai sejak prenatal atau masa sebelum kehamilan, masa kehamilan, dan masa 1000 hari pertama kehidupan manusia. Intervensi telah dilakukan terutama pada perempuan. Kemudian pemberian tablet tambah darah pada remaja putri untuk memastikan mereka betul-betul sehat dan kelak setelah menika siap hamil, bimbingan perkawinan bagi calon pengantin, cek kesehatan sebelum menikah, cek HB darah, cek lingkar lengan, memberikan intervensi gizi untuk ibu dan bayi sampai 1000 hari pertama kehidupan dan berbagai penyediaan kesehatan lainnya.

 

“Dalam keluarga, ibu menjadi inti dari keluarga. Ibu berperan dalam pembentukan akhlak anak-anaknya. Perempuan tiangnya negara. Kalau perempuan terpelihara dan dirawat dengan baik. Dia akan memerankan perannya dengan baik yang akan mengokohkan negara,” jelasnya.

 

Seremonial

 

Jika kita cermati, peringatan Harganas tahun ini seolah seremonial sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sebab permasalahan keluarga saat ini, khususnya di Indonesia tidaklah sederhana yang kita bayangkan. Munculnya berbagai kasus dan krisis generasi yang bersumber dari keluarga menjadi sekedar fenomena gunung es, karena yang lebih buruk dan tidak terungkap boleh jadi lebih banyak.

 

Perempuan atau kaum ibu di tengah keluarga, posisinya memang sentral. Namun, jika dirinya tidak ditempatkan sebagaimana mestinya, berbagai ketimpangan pun akan terjadi. Hal itu terbukti ketika seorang perempuan dipaksa keluar rumah untuk bekerja, maka posisinya sebagai tulang rusuk akan terpaksa menjadi tulang punggung. Peran domestiknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga pasti akan terganggu. Belum lagi tanggung jawabnya dalam mendidik dan menanamkan akidah kepada anak-anaknya, juga pasti akan berkurang porsinya.

 

Begitu juga remaja putri yang tidak lain adalah para calon ibu, jika mereka tidak paham cara menjadi istri dan ibu sebagai bagian visi keimanan dan ketakwaan, maka kesulitan pun akan dihadapi yang berdampak pada rendahnya mental health pada dirinya. Begitu banyak kasus ibu muda yang tega menganiaya, melecehkan, bahkan menghilangkan nyawa anaknya sendiri. Mirisnya, dengan maraknya fenomena mom shaming, yakni tingginya tingkat stres ibu karena berbagai komentar negatif akan dirinya atau cara mendidik anak yang mayoritas datangnya dari anggota keluarganya sendiri.

 

Persoalan anak stunting disebabkan oleh kemiskinan struktural di tengah masyarakat. Pada saat yang sama, inflasi pangan dan energi begitu menggila. Kenaikan harga bahan pangan berlaku hampir serentak. Jelas, kondisi keuangan tidak akan mampu mencukupi kebutuhan akan makanan bergizi.

 

Jika menggunakan solusi dari pemerintah, tampak jelas hanya solusi parsial yang meminggirkan aspek akhirat. Sebab akar masalah sesungguhnya adalah penerapan sistem sekularisme yang didukung oleh sistem demokrasi-kapitalisme. Kendati berpenduduk mayoritas muslim. Pemerintah juga enggan menggunakan solusi tuntas yang bersumber dari Allah SWT. Maka, pada titik inilah letak akar masalah seputar krisis keluarga.

 

Di satu sisi, negara sekuler yang mayoritas muslim tidak akan menerapkan aturan Allah SWT. Alih-alih mengakomodasi keberadaan aturan Allah sebagai fungsi tata kelola negara akibat landasan sekularisme. Konsekuensinya, negara sekuler akan selalu berbanding lurus dengan lahirnya kebijakan yang berlepas tangan dari perannya sebagai pengatur urusan rakyatnya.

 

Keluarga Ideal Butuh Khilafah

 

Keluarga adalah institusi terkecil dalam masyarakat. Dari keluargalah awal sebuah generasi terbentuk. Semua orang pasti menginginkan keluarga sakinah mawaddah dan warahmah. Maka bangunan keluarga ideal dimulai dari keluarga yang kuat dan mampu menghasilkan generasi tangguh. Bahkan mampu membangun peradaban mulia.

 

Namun, tumbuh suburnya sekularisme yang ditopang oleh negara bersistem demokrasi-kapitalisme dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sungguh telah merampas format keluarga ideal sekaligus menyesatkan setiap keluarga muslim. Kapitalisme yang menjunjung tinggi kebebasan telah menjadikan eksistensi keluarga terancam. Padahal keluarga adalah fondasi dasar suatu negara.

 

Adanya berbagai kebijakan negara yang mencabut fungsi kepemimpinan (qawwamah) seorang ayah, telah membebaskan perempuan dari keterikatan terhadap aturan Islam, sekaligus menggerus arti penting birrul walidain, sungguh akan menghancurkan keluarga. Kehancuran keluarga sama saja dengan menghancurkan Islam itu sendiri.

 

Berbeda dalam sistem Islam yang disebut Khilafah. Di dalamnya telah terlahir tokoh-tokoh besar, seperti Abdullah bin Abbas ra., Abdullah bin Umar ra., Abdullah bin Amru ra., Abdullah bin Zubair ra., Imam Syafi’i, hingga generasi Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih.

 

Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim [66]: 6).

 

Dari ayat diatas, jelas kita butuh Khilafah yang menerapkan aturan Allah secara menyeluruh. Kita harus yakin bahwa hanya aturan Allah yang terbaik mengatur kehidupan ini. Dengan Khilafah, fungsi negara sebagai penyelenggara aturan kehidupan akan terwujud. Hal ini karena pemerintah adalah pihak pelaksana syariat Allah.

 

Melalui Khilafah pula, akan terwujud individu-individu yang bertakwa dan senantiasa terikat dengan hukum syarak. Sehingga mereka tumbuh menjadi orang-orang yang siap membangun keluarga dan peradaban. Selain itu, Khilafah akan menjamin penuh keberlangsungan kontrol sosial masyarakat yang siap menjadi inkubator dakwah Islam. Peran negara untuk menopang ketahanan keluarga ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

 

“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

 

Dalam sistem Islam terdapat empat bidang yang berperan menjadi penyokong ketahanan keluarga menuju format keluarga ideal.

 

Pertama, Pendidikan.

Melalui pendidikan berbasis Islam, akan terlahir generasi yang berkepribadian Islam dan siap mengemban dakwah.

 

Kedua, Ekonomi.

Konsep pengelolaan ekonomi dalam sistem Islam adalah riayah (mengurus) dan menjamin distribusi harta merata secara individu per individu.

 

Ketika, Sosial Budaya.

pemberdayaan individu berpijak pada posisi seorang hamba di hadapan hukum syarak, tanpa mengabaikan dakwah sebagai poros hidup.

 

Keempat, Sanksi.

Sistem sanksi dalam sistem Islam ditegakkan menurut syariat sehingga otomatis mampu mencegah dan menjerakan.

Wallahualam bissawab.



from Suara Inqilabi https://ift.tt/3LfT9l7
August 08, 2024 at 02:37PM

Belum ada Komentar untuk "Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas, Realistis atau Utopis?"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel