APARAT PENCABUT NYAWA: IMPUNITAS PENEGAKAN HAM


APARAT PENCABUT NYAWA: IMPUNITAS PENEGAKAN HAM

Amalia Elok Mustikasari

Kasus meninggalnya Afif Maulana (13), seorang anak di Kota Padang, Sumatera Barat, belum menemui titik terang. Kuasa hukum dan keluarga mendapat kesaksian bahwa korban yang merupakan siswa kelas VII SMP Muhammadiyah 5 Padang itu disiksa polisi. Di sisi lain, kepolisian memberi keterangan berbeda. Jasad Afif ditemukan mengambang oleh warga di Sungai atau Batang Kuranji di bawah jembatan di Jalan Bypass Kilometer 9, Kelurahan Pasar Ambacang, Kecamatan Kuranji, Minggu (9/6/2024), pukul 11.55 WIB. Pada tubuh Afif terdapat luka-luka lebam di sejumlah bagian tubuhnya. (Kompas, 25-6-2024)

Kasus kekerasan anggota Polda Sumbar ini terkuak setelah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengungkap dugaan kematian Afif Maulana, anak berusia 13 tahun, akibat disiksa polisi. Cara biadab aparat dalam menangani perkara di antaranya diungkap oleh LBH Padang. LBH menduga puluhan polisi menyiksa tujuh pria, lima di antaranya anak-anak, dengan cara mencambuk, memukul dengan rotan, menyeruduk menggunakan sepeda motor, menyundut dengan rokok, serta menyetrum. Polisi lebih dulu menangkap mereka bersama sebelas orang lain dengan tuduhan hendak melakukan tawuran di Jembatan Kuranji, Padang. Kematian Afif Maulana, salah satu korban, diduga akibat kebiadaban polisi pada dinihari itu. Siswa sekolah menengah pertama itu adalah rekan 18 orang yang ditangkap. Beberapa jam setelah penangkapan, mayat Afif ditemukan mengambang di sungai di bawah Jembatan Kuranji. Tubuh remaja 13 tahun itu penuh luka lebam. Pipinya membiru. Hasil autopsi Rumah Sakit Bhayangkara Padang Barat menyebutkan Afif meninggal karena enam tulang rusuknya patah. Kondisi tubuh Afif berkebalikan dengan pernyataan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Inspektur Jenderal Suharyono. Ia mengatakan Afif bukan korban kebrutalan polisi. Suharyono seharusnya mendorong pengusutan kematian Afif secara tuntas dan transparan, bukan tergesa-gesa menyangkal. Suharyono bahkan mengancam akan mengejar orang yang menyebarkan video kematian Afif. Sikap Kepala Polda Sumatera Barat seperti ini kerap ditunjukkan kalangan kepolisian ketika ada anggota korps baju cokelat yang bertindak brutal di lapangan.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis laporan evaluasi kinerja Kepolisian RI, telah terjadi 641 peristiwa kekerasan sepanjang Juli 2023 hingga Juni 2024. Dari 641 peristiwa kekerasan yang melibatkan polisi itu, 754 orang menderita luka-luka, sementara 38 lainnya meregang nyawa. Sepanjang periode itu pula, KontraS mendokumentasikan 35 peristiwa pembunuhan di luar hukum yang menewaskan 37 orang. Jenis tindakan kekerasan yang dilakukan Polri itu meliputi penembakan, penganiayaan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa, intimidasi, kriminalisasi, pelarangan, kekerasan seksual, dan tindakan tidak manusiawi. Dalam periode kajian yang sama, KontraS juga mencatat terjadinya 15 peristiwa salah tangkap, dengan setidaknya 23 korban, termasuk sembilan orang cedera. Secara rinci KontraS melaporkan bahwa setahun terakhir ini telah terjadi 75 peristiwa pelanggaran kebebasan sipil yang meliputi kriminalisasi (17 peristiwa), pelarangan (9), intimidasi (20), pembubaran paksa (36), penangkapan sewenang-wenang (24), penganiayaan (12), dan penembakan (4). Di luar angka itu masih ada 69 peristiwa keterlibatan polisi dalam pidana narkoba, di mana 28 polisi terbukti menjadi pengguna, 17 polisi menjadi pengedar dan 16 polisi lainnya memiliki atau menyimpan narkoba.

Deputi Direktur Amnesty International Indonesia mencatat terdapat setidaknya 226 korban penyiksaan di Indonesia sejak Juli 2019. Bahkan Amnesty mencatat terus bertambahnya jumlah penyiksaan oleh aparat penegak hukum dalam tiga tahun terakhir. Periode 2021-2022 terdapat setidaknya 15 kasus dengan 25 korban, lalu periode 2022-2023 naik menjadi setidaknya 16 kasus dengan 26 korban. Bahkan pada periode 2023-2024 melonjak menjadi setidaknya 30 kasus dengan 49 korban. Selama tiga periode tersebut, pelaku penyiksaan didominasi oleh anggota Polri sebanyak 75%, personel TNI 19%, gabungan anggota TNI dan Polri 5%, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) 1%. Data Amnesty ini diperkuat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komnas HAM menerima data pengaduan penyiksaan di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Data pengaduan Komnas HAM terkait kasus penyiksaan periode 1 Januari 2020 – 24 Juni 2024 mengungkapkan terdapat 282 kasus dengan pihak teradu atau diadukan sebagian besar adalah Polri (176), TNI (15), Lapas (10), Lembaga Peradilan (1), Lembaga negara (non-kementerian) (4), dan pemerintah pusat (Kementerian) (3).

Di tahun 2022-23 YLBHI-LBH mencatat terdapat 24 korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di dalam tahanan yang ditangani oleh LBH-LBH Kantor. Pembunuhan di luar proses hukum tersebut semuanya terjadi dengan cara penyiksaan yang sebagian besar dilakukan oleh anggota kepolisian. Sebagai contoh, kasus kematian HS yang ditangani oleh LBH Medan pada tahun 2022 lalu. Anggota kepolisian secara sadar memerintahkan tahanan lain untuk melakukan penyiksaan pelecehan seksual terhadap korban. Korban awalnya diminta untuk membayar uang “kebersamaan” sebesar Rp 2 juta kepada petugas kepolisian, namun HS menolak. Korban sempat dilarikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Medan, namun tidak terselamatkan. Dari 24 kasus tersebut YLBHI-LBH juga menemukan 2 diantaranya dibunuh dengan penggunaan senjata api. Dua kasus tersebut ditangani oleh LBH Lampung dan Surabaya. Di Lampung, Alm. M disiksa terlebih dahulu oleh aparat kepolisian sebelum akhirnya ditembak. Sedangkan kasus yang ditangani oleh LBH Surabaya, korban yang diduga mengalami gangguan jiwa ditembak hingga 14 kali oleh polisi. Pada tembakan ke-9 korban sudah tidak bergerak lagi, namun pihak kepolisian terus menembakinya sebanyak 14 kali. Dari 24 kasus meninggalnya tahanan, hanya 5 yang akhirnya ditindak lanjuti oleh pihak kepolisian. Tiga kasus mengambang, 1 sampai ke meja hijau dan 1 berakhir damai dengan uang kompensasi.

Menurut YLBHI-LBH kegagalan negara menghapuskan praktek penyiksaan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, budaya kekerasan yang melembaga di institusi TNI-Polri. Kedua, belum diratifikasinya Protokol Opsional untuk Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Peghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (OPCAT) oleh Pemerintah Indonesia. Protokol opsional ini penting untuk diratifikasi untuk membuka jalan lembaga-lembaga independen baik nasional maupun internasional untuk menetapkan sistem kunjungan rutin ke tempat-tempat di mana orang-orang dirampas hak-hak kebebasan, untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Ketiga, negara justru nampak aktif mensponsori penyiksaan terhadap warga sipil dengan tidak segera melakukan revisi KUHAP, tidak merevisi UU Peradilan Militer di satu sisi. Di sisi lain justru menambah kewenangan eksesif kepolisian melalui RUU Polri serta merevisi UU TNI untuk memberikan ruang lebih banyak militer melakukan operasi-operasi selain perang.

Kepolisian Republik Indonesia, dengan slogannya ‘Melindungi dan Melayani Masyarakat’, memiliki kewajiban utama memastikan rasa aman pada masyarakat. Langkah kepolisian yang beralibi Afif jatuh ke sungai, padahal kematiannya memiliki kecenderungan tidak wajar merupakan contoh Impunitas dalam penegakan hak asasi manusia, salah satu tindakan yang menyuburkan praktik penyiksaan. Kepolisian yang harusnya mengayomi masyarakat berkamuflase menjadi aparat pencabut nyawa. Masih banyak catatan kelam kepolisian yang seakan membuat benak kita semua bertanya, ada di pihak manakah kepolisian? Pertanyaan ini pun semakin berangsur-angsur hingga relevansi kepolisian pun kerap dipertanyakan.

Tindak kekerasan polisi terhadap masyarakat terus berulang. Cara-cara mereka menangani persoalan di lapangan makin sadis. Mereka menyiksa orang hingga tewas, termasuk remaja dan anak-anak. Harusnya kepolisian menghentikan cara-cara kejam ketika menangani persoalan. Aparat wajib mematuhi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Pemerintah sudah meratifikasi konvensi itu melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Peraturan ini melarang pejabat publik melakukan penyiksaan baik fisik maupun mental serta perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah tidak serius dan gagal menjalankan komitmennya untuk menghentikan praktik penyiksaan di indonesia paska meratifikasi konvensi anti penyiksaan 25 tahun yg lalu. Praktik penyiksaan di Indonesia terus berulang dan terjadi tanpa ada upaya serius untuk mencegah dan menghentikannya. Negara telah gagal dalam melindungi, mengayomi, dan menjamin keamanan bagi rakyat.

Dalam Islam setiap orang berhak mendapatkan jaminan keamanan. Bahkan salah satu tujuan agung syariat Islam adalah menjamin keamanan, baik bagi masyarakat maupun negara. Nabi saw. menyebutkan bahwa mendapatkan rasa aman adalah kenikmatan besar dari Allah Swt.. Sabda beliau, “Siapa saja yang pada pagi hari di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga, dan masyarakatnya), diberi kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR At-Tirmidzi)

Islam juga memberikan ciri keimanan yang sempurna. Di antaranya saat seseorang menjaga dirinya dari mengganggu harta orang lain dan menumpahkan darah mereka. Sabda Nabi saw., “Seorang mukmin adalah orang yang membuat orang lain merasa aman atas harta dan jiwa mereka.” (HR Ibnu Majah)

Karena itu tindakan menakut-nakuti, mengancam, mengintimidasi, baik dilakukan oleh warga sipil apalagi oleh aparat, adalah tindakan haram. Nabi saw. bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR Abu Dawud)

Kepolisian atau syurthah telah dikenal sejak zaman kepemimpinan Rasulullah saw. di Negara Islam di Madinah. Anas bin Malik ra. bertutur, “Qais bin Saad ketika itu berada di depan Nabi saw. layaknya kepala polisi dengan amir (kepala negara).” (HR Al-Bukhari)

Dr. Namir bin Muhammad al-Hamidani dalam kitab Wilâyah asy-Syurthah fî al-Islâm menjelaskan hukum-hukum syariat mengenai syurthah (kepolisian) dalam Islam. Secara bahasa syurthah bermakna para pembantu penguasa. Dinamakan syurthah karena mereka memiliki tanda-tanda yang dapat diidentifikasi. Adapun secara istilah syurthah (polisi) adalah pasukan yang dibentuk oleh khalifah atau wali/gubernur untuk menjaga keamanan dan melindungi aturan, menangkap pelaku kejahatan dan para pengacau, serta tugas lain seperti pekerjaan administratif yang menjamin keselamatan rakyat dan ketenangan mereka.

Kepolisian adalah kekuatan utama untuk menjaga keamanan dalam negeri dari berbagai ancaman dan gangguan seperti pencurian, perampokan, zina, murtad, vandalisme, dan sebagainya. Polisi juga diberi kewenangan menggunakan senjata untuk menghadapi kaum pemberontak (bughat) dan separatis yang mengganggu keamanan umum seperti mengancam harta warga, aset-aset umum dan negara. Dalam aturan Islam, polisi menjalankan tugasnya sesuai hukum syariat. Mereka haram memata-matai rakyat, melakukan penyadapan, meretas ponsel, email, nomor telepon, dan sebagainya dengan alasan mencegah kejahatan. Allah Swt. berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sungguh sebagian prasangka itu dosa. Janganlah kalian memata-matai orang lain (tajassus).” (QS Al-Hujurat [49]: 12)

Polisi hanya boleh memata-matai mereka yang disebut ahlur-riyab, yaitu orang-orang yang terindikasi kuat akan menimpakan bahaya kepada masyarakat, negara dan warga. Di antaranya warga yang punya hubungan akrab dengan negara kafir harbi fi’lan (de facto) maupun kafir harbi hukman (de jure). Misalnya, warga yang akrab dengan negara imperialis macam Israel, Amerika Serikat, dan sebagainya. Islam juga mengharamkan polisi menciptakan ketakutan terhadap rakyat dengan berbuat semena-mena seperti asal tangkap, memukuli warga, menembakkan gas air mata, apalagi membunuh tanpa alasan yang jelas. Nabi saw. bersabda, “Ada dua golongan penghuni neraka, yang belum pernah aku lihat, yaitu suatu kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi. Mereka mencambuk manusia dengan cambuk tersebut.” (HR Muslim)

Kepolisian dalam Islam bukanlah kesatuan ala kadarnya yang direkrut dari orang-orang rendahan dan dilatih asal-asalan. Kepolisian dalam Islam adalah kesatuan terbaik dan menonjol. Al-Azhari berkata, “Polisi adalah setiap kesatuan terbaik. Di antara kesatuan pilihan tersebut adalah polisi karena mereka adalah prajurit-prajurit pilihan. Bahkan dikatakan mereka adalah kesatuan terbaik yang lebih menonjol daripada tentara.” (Ajhizah ad-Dawlah, hlm. 94)

Karena vitalnya peran polisi dalam penegakan syariat Islam, maka tidak sembarang orang diterima menjadi polisi. Tidak cukup hanya sehat badannya dan punya keterampilan fisik. Disyaratkan juga mereka adalah pribadi-pribadi yang bertakwa. Ibnu Azraq menyebutkan, “Wajib bagi Imam/Khalifah untuk memilih polisi dari kalangan orang yang tsiqah (terpercaya) agamanya, tegas dalam membela kebenaran dan hudûd (hukum pidana Islam), waspada dan tidak mudah dibodohi.” (Bada’ as-Silki fî Thabai’ al-Mulki, 1/289, Maktabah Syamilah).

Dengan tiga sifat ini maka hukum syariat dapat ditegakkan. Kepolisian akan diisi oleh anggota yang bertakwa sehingga tidak mempan dibujuk apalagi menerima suap dari siapa pun. Mereka tegas dalam menegakkan hukum, juga tidak akan memutarbalikkan hukum untuk keuntungan pribadi.

Wallahu a’lam bish-shawwab



from Suara Inqilabi https://ift.tt/ThycCd8
July 09, 2024 at 12:42PM

Belum ada Komentar untuk "APARAT PENCABUT NYAWA: IMPUNITAS PENEGAKAN HAM"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel