Tapera: Taktik Pemerasan Rakyat


Tapera: Taktik Pemerasan Rakyat

Mila Ummu Al

Kontributor Suara Inqilabi 

 

Di tengah impitan ekonomi, pemerintah justru berencana mewajibkan penarikan iuran Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) sebesar 3% kepada para pekerja perusahaan swasta, pekerja BUMN, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dari jumlah tersebut, sebesar 0,5% dibayar oleh pemberi kerja dan sebesar 2,5% dibayar oleh pekerja. Adapun pekerja mandiri, mereka harus membayar penuh sebesar 3%.

 

Dilansir dari Detik.com (3-6-2024), kebijakan Tapera akan diberlakukan pada 2027 dan bagi pihak yang melanggar akan dikenakan sanksi administratif. Ada 4 otoritas yang berwenang memberikan sanksi kepada pekerja dan pemberi kerja, yakni Komite Tapera, Badan Pengelola (BP) Tapera, Otoritas Jasa Keuangan, serta Otoritas Pemberi atau Pengawas Izin Usaha dan Pemberi Kerja.

 

Tidak Transparan

 

Program Tapera sebenarnya mirip dengan program Bapertarum (Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan) yang ditujukan bagi ASN. Namun kini, Tapera mencakup pegawai swasta dan mandiri.

 

Terjadi penolakan dari masyarakat. Publik menilai bahwa pengelolaan dan pemanfaatan dana Tapera berpotensi menjadi lahan subur praktik korupsi. Terlebih lagi, pihak pemerintah belum terbuka terkait transparansi dananya kepada publik, seperti bagaimana dana dari program tersebut akan dikelola atau diinvestasikan agar dapat memberi manfaat kepada rakyat. Tentu saja, tidak adanya transparansi sistem keuangan dapat menjadi pintu terjadinya penyelewengan anggaran, seperti yang terjadi pada kasus korupsi Jiwasraya Rp16,8 triliun dan Asabri Rp22,7 triliun.

 

Anehnya lagi, pemerintah tidak memberikan penjelasan kebijakan Tapera terkait bagaimana dengan para pekerja yang memutuskan untuk tidak mempunyai rumah atau yang telah memiliki rumah. Apakah para pekerja yang tidak memanfaatkan dana dapat menarik dana tersebut sewaktu-waktu jika membutuhkan? Lantas, bagaimana dengan para pekerja yang belum menikmati hasil Tapera namun telah meninggal dunia, apakah bisa diwariskan?

 

Mirisnya lagi, berdasarkan PP 21 Tahun 2024 dikatakan bahwa Tapera berbasis simpanan yang berlandaskan gotong royong, namun terdapat kata “wajib” di dalamnya. Bagaimana bisa gotong royong yang sifatnya suka rela justru diwajibkan atau dipaksakan? Karena itu, adanya program Tapera secara sepihak oleh penguasa menimbulkan pertanyaan oleh publik, apakah pemerintah benar-benar menyusun kebijakan ini untuk kemaslahatan rakyat atau sebaliknya. Sebab kebijakan ini jelas-jelas dapat membebani rakyat selama puluhan tahun, namun pihak buruh tidak mendapatkan jaminan kepastian bisa memiliki rumah.

 

Padahal selama ini, upah para pekerja telah dipotong untuk iuran Jaminan Kesehatan (1%), Pajak Penghasilan (5%), Jaminan Pensiun (1%), Jaminan Hari Tua (2%), dan jika ditambah dengan Tapera 2,5% maka total potongan upah sebesar 11,5%. Artinya, adanya program Tapera ini sejatinya hanya menjadi beban tambahan bagi rakyat.

 

Semua ini membuktikan bahwa pemerintah hanya bertindak sebagai pengumpul iuran, namun berlepas tangan menjamin penyediaan rumah bagi seluruh pekerja. Sebab, kebijakan dan besaran iuran dinilai “tidak masuk akal” untuk mewujudkan hunian yang layak untuk seluruh pekerja selama negara tidak mengintervensi terkait harga tanah, penguasaan tanah, dan pengembangan kawasan baru.

 

Meskipun tidak membuat para pekerja miskin dengan iuran Tapera, namun program ini mampu mengumpulkan dana yang besar bagi pemerintah. Bayangkan saja, jika terdapat 43 juta pekerja formal maka dana yang terkumpul dari iuran Tapera bisa mencapai ratusan triliun. Berdasarkan penghitungan yang dilakukan oleh Bahan Sekuritas, BP Tapera diperkirakan dapat menghimpun dana sebesar Rp160-268 triliun hingga 2027.

 

Islam Menjamin Perumahan Rakyat Miskin

 

Sistem Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan perumahan untuk rakyat miskin sebab syariat menempatkan Khalifah (pemimpin/imam) sebagai pelayan (peri’ayah) urusan rakyat. Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Imam adalah pelayan dan ia bertanggung jawab terhadap urusan rakyat”.

 

Dalam negara Islam (Khilafah), penguasa tidak boleh menyimpang dari hukum syarak, seperti memungut harta dari rakyat secara zalim demi alasan kemaslahatan, atau mewajibkan sesuatu yang mubah seperti menabung lalu memberi sanksi bagi rakyat yang menolak. Apalagi sampai menghalalkan sesuatu yang haram, seperti memberi “bunga riba” pada tabungan rakyat tersebut.

 

Adapun pelarangan pengambilan harta dengan cara yang batil terdapat di dalam surah An-Nisa ayat 29 yang artinya, “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali melalui perdagangan atas dasar suka sama suka di antara kalian”. Maksud kalimat “dengan jalan yang batil” dalam ayat tersebut adalah mencakup gasab (perampasan) dan mencuri, baik pelakunya individu maupun para penguasa.

 

Oleh sebab itu, dalam sistem Islam, penguasa sebagai representasi negara akan berupaya optimal dalam melayani rakyatnya. Negara adalah pihak pertama yang bertanggung jawab langsung menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, seperti kebutuhan papan/hunian bagi rakyat miskin. Dengan berlandaskan hukum Islam maka prasyarat hunian harus syar’i (tidak mengandung unsur riba), layak, nyaman dalam aspek kesehatan, dan dengan harga terjangkau.

 

Untuk itu, negara tidak dibenarkan mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain, seperti kepada badan usaha, bank-bank, swasta, ataupun pengembang perumahan. Jika terjadi maka negara telah menghilangkan kewenangan dan fungsinya yang amat penting, yakni sebagai pelayan rakyat. Tanpa melalui operator, seperti bank-bank penyalur atau pengembang maka manfaat hunian bagi rakyat miskin dapat langsung dirasakan tanpa persyaratan yang rumit.

 

 

Demi mewujudkan fungsinya tersebut, negara Islam menerapkan konsep anggaran berbasis baitulmal yang bersifat mutlak. Di mana sumber-sumber pemasukannya dan pengeluarannya berdasarkan ketentuan hukum syarak. Artinya, tidak dibenarkan dengan cara pemupukan dana yang dihimpun dari rakyat lalu diinvestasikan atau didepositokan di pasar modal. Terlebih lagi, diperoleh dengan utang ribawi maupun penarikan pajak kepada seluruh rakyat.

 

Berdasarkan pengaturan hak kepemilikan tanah dalam Islam, maka negara dapat dengan mudah memberikan tanah kepada rakyat miskin secara cuma-cuma untuk dibangun rumah atau dikelola sebagai lahan pertanian. Selain itu, negara juga melakukan pengawasan dan pelarangan penguasaan tanah oleh korporasi karena dapat menghalangi negara dalam proses penjaminan ketersediaan lahan untuk rakyat miskin.

 

Konsep memberikan tanah milik negara kepada mereka yang membutuhkan pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat menjadi kepala negara di Madinah, yakni ketika memberikan tanah kepada Abu Bakar dan Zubair bin Awwam.

 

Sistem Islam terkait jaminan ketersediaan perumahan bagi rakyat miskin tersebut tidak dapat terwujud di dalam sistem kapitalisme. Sistem ini hanya dapat terwujud jika syariat Islam kaffah diterapkan naungan Daulah Khilafah. Wallahu a’lam bishawwab.



from Suara Inqilabi https://ift.tt/heQxFd1
June 17, 2024 at 03:22AM

Belum ada Komentar untuk "Tapera: Taktik Pemerasan Rakyat"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel