OBRAL KONSESI TAMBANG IBARAT REDISTRIBUSI KEKUASAAN


OBRAL KONSESI TAMBANG IBARAT REDISTRIBUSI KEKUASAAN

Amalia Elok Mustikasari

Kontributor Suara Inqilabi 

 

Presiden RI Joko Widodo resmi memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Tak tanggung-tanggung, pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan ini disebut sebagai pemberian WIUPK secara Prioritas. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.25 tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Adapun WIUPK yang diberikan kepada ormas keagamaan merupakan wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). (CNBC Indonesia, 31-5-2024)

Hampir 5 juta hektar lahan telah diubah menjadi kawasan pertambangan batubara, dengan setidaknya hampir 2 juta hektarnya berada di kawasan hutan, dan tren perusakan ini tidak akan segera menurun karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sendiri terus mendorong peningkatan produksi batubara di Indonesia dari tahun ke tahun (2021: 609 juta ton; 2022: 618 juta ton; 2023: 625 juta ton; 2024: 628 juta ton). Panel antarpemerintah untuk perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (IPCC) mencatat bahwa batubara adalah bahan bakar fosil yang merupakan bahan bakar paling kotor, dan bertanggung jawab atas peningkatan 0,3 derajat celsius dari kenaikan suhu rata-rata global sebesar 1 derajat Celsius. Hal ini menjadikan batubara sebagai sumber kenaikan suhu global terbesar. Kontribusi batubara pada sektor energi juga membawa Indonesia menjadi penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021. Sehingga, dalam rangka memulihkan bumi, ormas keagamaan justru harus menolak menjadi pihak yang berkontribusi bagi krisis iklim yang dampaknya melintas ruang dan waktu.

Konsesi pertambangan batubara juga merupakan ancaman bagi budidaya agraris di Indonesia. Luasan tambang batubara dilaporkan mencakup 19% dari areal persawahan yang ada dan 23% lahan yang tersedia untuk budidaya padi baru. Hingga 15% kawasan yang diperuntukkan bagi budidaya perkebunan juga berisiko dibuka dan ditambang untuk produksi batubara, sehingga menimbulkan risiko terbesar bagi ketahanan pangan di masa mendatang. Dalam operasionalnya, tambang tak hanya melenyapkan ruang pangan dan air, serta berdampak pada terganggunya kesehatan, tetapi juga telah memicu kematian. Operasi pertambangan tersebut, telah meninggalkan lubang-lubang beracun. JATAM mencatat telah lebih dari delapan puluh ribu titik lubang tambang yang dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi di Indonesia. Lubang-lubang tambang itu menjadi mesin pembunuh massal. Di Kalimantan Timur, misalnya, telah menelan korban tewas 49 orang, mayoritas anak-anak. Kasus-kasus ini dibiarkan begitu saja, tanpa penegakan hukum.

Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2023, tambang menyebabkan 32 letusan konflik agraria di 127.525 hektar lahan dengan 48.622 keluarga dari 57 desa terdampak tambang. Dalam catatan WALHI sepanjang periode pemerintahan Presiden Joko Widodo telah ada 827 kasus kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi yang dialami oleh rakyat. Sebagian besar dari kasus ini adalah pada wilayah-wilayah pertambangan. Pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan justru akan membuat ormas-ormas ini nantinya berakhir bertikai dengan warga anggotanya sendiri. Sesuatu yang ironis bagi ormas keagamaan yang dibentuk untuk tujuan mulia penyebaran ajaran kebaikan jika harus berakhir menyebabkan konflik baik dengan masyarakat secara umum, lebih-lebih dengan warga anggotanya sendiri karena pemberian izin tambang.

Pemberian prioritas IUPK kepada Ormas Keagamaan juga berisiko besar akan berakhir menjadi bancakan para pemain (pengusaha) tambang yang secara keahlian teknis dan tata niaga-nya telah memiliki pengalaman pada bisnis tambang. Kebutuhan kemampuan mobilisasi sumber daya untuk mendukung operasi teknis dalam bisnis tambang serta penguasaan terhadap tata niaga batubara bukanlah kemampuan yang sekarang dimiliki oleh ormas-ormas keagamaan, karena memang ormas keagamaan tidak dibentuk untuk tujuan bisnis tambang. Kekosongan kemampuan ini bisa menjadi celah bagi pemain lama bisnis tambang untuk mengambil alih operasi pertambangan dari IUPK yang diberikan prioritasnya kepada ormas keagamaan. Pada akhirnya ini hanya akan berakhir menjadi operasi bisnis tambang pada umumnya yang berisiko tinggi memicu kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia, namun kali ini para pemain tambang yang mendapatkan keuntungan, dan ormas-ormas keagamaan yang mendapatkan getah dari lunturnya nama baik mereka akibat dampak yang ditimbulkan bisnis pertambangan.

Hal ini akan menjadi pukulan besar dari upaya berbagai tokoh dan kelompok-kelompok keagamaan yang secara tekun menjadi pendamping bagi advokasi lingkungan hidup di berbagai daerah di Indonesia. Di Padarincang, Banten, tempat di mana WALHI menyelenggarakan Pekan Rakyat Lingkungan Hidup, justru tokoh-tokoh dari pesantren menjadi tulang punggung perjuangan warga melawan ancaman perusakan sumber-sumber mata air baik dari proyek privatisasi air maupun dari proyek energi geothermal. Jika ormas-ormas keagamaan menerima tawaran pemerintah untuk mengelola bisnis pertambangan, ini akan bertolak belakang dengan semangat pelestarian lingkungan hidup yang diperjuangkan tokoh-tokoh agama di berbagai daerah. Upaya pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan hanya akan menjadi pembenaran terhadap segala perusakan yang telah terjadi di Indonesia.

Pemberian IUPK pada wilayah eks PKP2B kepada ormas keagamaan juga menunjukkan bahwa bagi rezim Presiden Joko Widodo, izin pertambangan bukanlah mekanisme untuk melakukan pembatasan, pengendalian dan perlindungan terhadap dampak lingkungan dari akibat aktivitas pertambangan, namun hanya menjadi redistribusi kekuasaan dan obral sumber daya alam terutama pada sektor tambang batubara. Gemah Ripah loh jinawi merupakan semboyan yang menggambarkan betapa kaya rayanya Indonesia akan sumber daya alam, termasuk dari sektor pertambangan, dimana kekayaan alam tersebut akan membawa kemakmuran, ketentraman, kesejahteraan dan kedamaian bagi masyarakat seutuhnya. Ironisnya, hasil tambang yang melimpah tersebar dari sabang sampai merauke nyatanya tidak serta merta membuat masyarakat menjadi makmur dan sejahtera. Carut marut tata kelola pertambangan hingga kebijakan nasional pertambangan yang tidak sesuai mandat konstitusi menyebabkan kemakmuran dan kesejahteraan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Inilah realitas politik dalam demokrasi, penguasa bisa dengan sekehendaknya mengubah dan membuat aturan sesuai dengan kepentingannya. Oleh karena itu, kekacauan tata kelola pertambangan dan juga bobroknya hukum di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Sistem ini menjadikan hukum dikangkangi politik. Sistem ini pula yang melanggengkan oligarki terus menghisap harta kekayaan rakyat. Polemik kepemilikan tambang sejatinya tak akan pernah berkesudahan dalam Sistem Kapitalisme, karena sistem tersebut ditegakkan atas asas pengabaian syariat Allah SWT dalam pengaturan urusan publik (masyarakat & negara), dan ditopang oleh salah satu pilar yaitu pilar kebebasan kepemilikan. Siapapun boleh “bebas memiliki” tambang berlimpah di negara ini. Kesejahteraan rakyatpun menjadi utopia. Dalam sebuah negara yang menganut Sistem Demokrasi Kapitalisme, manusia didaulat sebagai pihak yang menetapkan aturan hukum terhadap urusan publik/rakyat, yang kita sebut sebagai “Kedaulatan di tangan rakyat”, sehingga lahirlah produk hukum hasil daya pikir manusia, bukan produk hukum buatan Allah SWT. Inilah perbedaan yang paling mendasar antara Sistem Demokrasi Kapitalisme dengan Sistem Islam, sehingga dari sinilah cikal bakal munculnya secara kontinyu berbagai polemik yang tak berkesudahan.

Dalam sistem politik Islam, kekuasaan dibangun berasaskan akidah Islam. Keberadaan negara didesain untuk menerapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Alhasil, Islam mewajibkan seorang kepala negara (khalifah) sebagai pengurus dan pelindung bagi rakyatnya.

Rasulullah saw. bersabda, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pihak yang dipimpinnya. Penguasa yang memimpin rakyat banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari-Muslim).

Adapun pengaturan kepemilikan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu milik individu, umum, dan negara. Barang tambang yang melimpah termasuk ke dalam kepemilikan umum sehingga haram hukumnya dimiliki secara individu atau oleh kelompok tertentu. Artinya, pengelolaan barang tambang tidak boleh dilakukan oleh swasta, melainkan wajib sepenuhnya oleh negara dan hasilnya dikembalikan seluruhnya kepada umat. Entah dalam bentuk barang tambang jadi yang bisa langsung dikonsumsi, maupun dalam bentuk lain seperti fasilitas hidup, semisal pembangunan insfrastruktur jembatan, gedung kesehatan, sekolah dll. Aturan inilah yang menjadikan tata kelola pertambangan yang berkeadilan dan menciptakan kesejahteraan. Jika barang tambang yang itu dibutuhkan semua orang, dikelola oleh negara, hasilnya akan bisa dirasakan oleh rakyat. Berbeda dengan pengelolaan di tangan swasta, yang bisa menikmati hanyalah segelintir orang.

Pada saat Rasulullah SAW menjadi pemimpin Negara Islam Madinah, pernah terjadi polemik terkait kepemilikan tambang, diselesaikan secara tuntas dan tak berkepanjangan. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi)

Demikianlah pengelolaan tambang dalam sistem politik islam, mekanisme pengelolaannya dilakukan sepenuhnya oleh negara, bukan oleh siapapun atau pihak manapun, baik kapitalis lokal maupun asing. Hasil pengelolaannya akan diberikan kepada rakyat sepenuhnya melalui berbagai mekanisme dan diberikan kepada seluruh warga negara tanpa memandang SARA ataupun status ekonomi, kaya miskin, muslim dan nonmuslim. Semua mendapatkan layanan hak yang sama.

Wallahu a’lam bish-shawwab



from Suara Inqilabi https://ift.tt/URtvp8Y
June 19, 2024 at 04:39AM

Belum ada Komentar untuk "OBRAL KONSESI TAMBANG IBARAT REDISTRIBUSI KEKUASAAN"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel