BENCANA BERULANG: CERMIN KESENJANGAN ANTARA MITIGASI & RESIKO BENCANA


BENCANA BERULANG: CERMIN KESENJANGAN ANTARA MITIGASI & RESIKO BENCANA

Amalia Elok Mustikasari

Bencana kembali melanda Indonesia. Kali ini banjir lahar dingin Gunung Marapi memporak-porandakan beberapa wilayah di Sumatra Barat. Banjir menerjang tiga wilayah, yaitu Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, dan Kota Padang Panjang. Akibatnya, 61 orang meninggal dunia dan puluhan orang dilaporkan hilang. Selain itu, 193 rumah di Kabupaten Agam dan 84 rumah di Tanah Datar mengalami kerusakan. Sejumlah infrastruktur, seperti jembatan dan masjid, juga rusak. Lalu lintas dari Kabupaten Tanah Datar menuju Padang dan Solok pun lumpuh total. (BBC Indonesia, 19-5-2024)

Konon, ini adalah “bencana terparah” yang pernah terjadi di Kabupaten Agam selama 150 tahun terakhir. Selain itu, bencana di sekitar Gunung Marapi tidak terjadi saat ini saja, tetapi beruntun sejak enam bulan terakhir. Banjir parah juga terjadi di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara sejak 3 Mei 2024. Curah hujan yang tinggi menyebabkan air Sungai Lalindu meluap dan berakhir di Jalan Trans Sulawesi. Akibatnya, Trans Sulawesi lumpuh total dan 300 kendaraan terjebak banjir. Tujuh kecamatan terdampak dan 3.121 warga mengungsi. Selain itu, dua desa terisolasi. Sebanyak 729 unit rumah dan 327,7 hektare lahan pertanian dan perkebunan terendam. Beberapa prasarana umum seperti tempat ibadah, satu jembatan, dan satu sekolah dasar terendam banjir. (CNN Indonesia, 11-5-2024)

Bencana banjir parah di Sumatra Barat dan Konawe Utara terjadi selain karena faktor alam, juga akibat ulah tangan manusia yang berbuat kerusakan (deforestasi). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Barat, mengatakan apa yang terjadi di Sumatra Barat merupakan bencana ekologis yang terjadi karena “salah sistem pengurusan alam”. Banjir makin tinggi intensitasnya karena eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan serta pembangunan yang tidak berbasis mitigasi bencana. Salah satu hal yang memperparah bencana adalah pembangunan ilegal di Lembah Anai, Kabupaten Tanah Datar. Daerah ini telah menjadi tempat wisata yang ramai, padahal Lembah Anai merupakan kawasan hutan lindung dan cagar alam. Karena daerah tersebut rawan bencana, banjir besar yang terjadi pada Sabtu (12-5-2024) menyapu bersih kafe dan pemandian.

Pada awal 2023, Dewan Sumber Daya Air sudah merekomendasikan agar kawasan tersebut ditertibkan dan jangan ada aktivitas yang mengumpulkan banyak orang. Namun, peringatan tersebut tidak mendapatkan tanggapan serius dari pemerintah setempat. Selain itu, marak terjadi pembalakan dan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di dalam dan sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), serta penambangan emas di kawasan penyangga TNKS. Berdasarkan pemantauan dan analisis Citra Satelit pada periode Agustus-Oktober 2023, Walhi Sumatra Barat menemukan indikasi pembukaan lahan untuk penebangan liar seluas 50 hektare di Nagari Padang Air Dingin, Kabupaten Solok Selatan, dan seluas 16 hektare di Nagari Sindang Lunang, Kabupaten Pesisir Selatan.

Di sisi lain, hasil studi Auriga Nusantara bersama sejumlah LSM lingkungan seperti Walhi dan Greenpeace menunjukkan tutupan sawit dalam kawasan hutan di bentang alam Seblat meningkat dari 2.657 hektare menjadi 9.884 hektare pada periode 2000-2020. Penebangan liar di kawasan TNKS sendiri sudah berlangsung sejak 2018 dan terus terjadi meskipun sudah dilaporkan pada pemerintah. Para sindikat penebang liar ini konon melibatkan orang dalam di jajaran pemerintah daerah dan aparat hukum agar memperoleh dokumen palsu dan bisa menebang dengan leluasa. Pemerintah mengeklaim sudah melakukan penegakan hukum terhadap pelaku pembalakan liar, tetapi langkah tersebut tidak efektif menghentikan aktivitas penebangan liar di TNKS. Hal ini karena para pelaku yang ditangkap mayoritas orang lapangan dan belum menyentuh aktor utama. Banjir parah di Konawe Utara juga disebabkan pembabatan hutan. Hutan-hutan yang berada di wilayah Konawe banyak ditebang untuk kegiatan pertambangan nikel.

Berulangnya bencana menunjukkan bahwa mitigasi bencana di negeri ini cenderung lemah sehingga setiap bencana melanda berdampak buruk terhadap masyarakat sehingga menyisakan luka dan kesedihan.Hal ini menjadi sebuah ironi karena berkesan ”membiarkan” masyarakat menghadapi rutinitas ancaman bencana. Keselamatan lebih dari 270 juta jiwa penduduk Indonesia adalah prioritas. Tidak hanya nyawa saja yang dapat terselamatkan, tetapi juga dampak lainnya, seperti ekonomi, dapat terus diminimalkan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kerugian ekonomi akibat bencana bisa mencapai puluhan triliun rupiah, sedangkan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk penanggulangan risiko hanya berkisar Rp 10 triliun per tahun.

Upaya mitigasi bencana harusnya menjadi salah satu kebijakan yang semestinya diupayakan seoptimal mungkin. Mengingat wilayah Indonesia adalah wilayah dengan struktur tanah dan lempeng yang rentan bencana. Mitigasi selalu berhubungan dengan kebijakan yang menjadi ketetapan negara. Negara tidak menyadari akibat dari tidak cepat tanggapnya dalam menghadapi bencana sehingga masyarakat terdampak menderita berkepanjangan. Selain harus kehilangan harta benda dan tempat tinggal, tidak jarang mereka harus kehilangan nyawa. Belum lagi setelah bencana usai, mereka harus menggelontorkan dana cukup besar untuk memperbaiki rumah dan harta bendanya. Bahkan, masyarakat terdampak kerap kali harus rela tinggal lebih lama di pengungsian dengan makanan dan tempat seadanya. Tanpa bisa mencari nafkah dan hanya mengandalkan bantuan alakadarnya. Dari segi kesehatan, mereka pun kerap mengalami sakit akibat tempat tinggal yang kurang bersih atau makanan yang tidak sehat. Lebih memilukan, negara cenderung abai akan kebutuhan pangan para pengungsi. Negara tidak menjalankan perannya dengan baik, justru peran tersebut diambil alih oleh masyarakat dengan memberikan bantuan secara swadaya. Para sukarelawan, bahkan mau bersusah payah menolong para korban bencana karena bantuan dari pemerintah tidak optimal.

Pada sistem kapitalisme mitigasi bencana membutuhkan biaya yang besar, Inilah sandungan terberat dalam sistem kapitalisme. Sama sekali tidak mampu menilik bahwa kepentingan rakyat adalah kepentingan yang semestinya menjadi prioritas dalam menjaga nyawa rakyat. Kebutuhan rakyat hanya dianggap sebagai beban yang memberatkan anggaran pembiayaan negara. Alhasil, mitigasi yang dilakukan hanya sebatas formalitas yang tidak mampu tuntas menyelesaikan masalah. Di sisi lain, kebijakan pembangunan yang eksploitatif memicu banyaknya bencana alam. Tentu saja, semua ini berdampak buruk pada keseimbangan lingkungan. Negara yang kini menerapkan sistem kapitalisme sekular, hanya berorientasi pada keuntungan materi. Tidak peduli lagi saat kebijakan yang ditetapkan beresiko memicu terjadinya bencana. Betapa buruk tata kelola bencana dalam sistem kapitalisme. Karena semua kebijakan tidak disandarkan pada keselamatan dan kepentingan rakyat.

Dalam paradigma Islam, sistem mitigasi bencana alam menjadi tanggung jawab penguasa. Sebab menjadi kewajiban penguasa untuk mengurus dan melindungi rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Secara teknis, sistem mitigasi bencana alam dalam Islam tidak jauh berbeda dengan banyak metode di dunia. Perbedaannya hanya terletak pada langkah awal saat terjadi bencana, yakni segera bertobat. Bermuhasabah. Mengingat segala kemaksiatan yang dilakukan, yang membuat Allah SWT sampai menurunkan bencana pada suatu kaum. Bertobat menjadi langkah awal menghadapi bencana untuk menjaga kesadaran dan kondisi spiritualitas masyarakat. Sehingga masyarakat senantiasa menjaga ketaatan kepada aturan Allah SWT. Sebagaimana hadis Nabi Saw., “Tanda-tanda yang dikirim Allah ini tidak terjadi karena hidup atau mati seseorang, tetapi Allah membuat umatnya takut. Sehingga ketika melihat suatu bencana, mohon dan memintalah pengampunan kepada-Nya.” (HR. Bukhari).

Sementara itu, dalam penyelenggaraan sistem mitigasi bencana, khalifah sebagai kepala negara, bertanggung jawab dan mengontrol penuh berjalannya seluruh aspek mitigasi bencana. Yakni meliputi upaya prabencana, saat bencana dan pasca bencana hingga kondisi masyarakat kembali normal. Khalifah menjadi tokoh sentral dalam seluruh aspek mitigasi bencana. Sebab kemaslahatan rakyat menjadi tanggung jawab besar baginya. Apatah lagi jika menyangkut nyawa rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. an-Nasai dan at-Turmudzi).

Adapun sumber biaya mitigasi bencana alam ini berasal dari kas negara dan bersifat mutlak. Maksudnya, baik ada maupun tidak ada uang di kas negara, wajib bagi negara membiayainya. Untuk itu negara wajib memaksimalkan potensi pos-pos pemasukan negara, seperti kepemilikan umum, jizyah, kharaj, dll. Jika sumber pemasukan negara tidak mencukupi, maka negara boleh melakukan konsep antisipasi lewat pajak. Pemungutan pajak ini pun hanya untuk orang kaya saja.

Inilah sistem mitigasi bencana ala Islam dalam naungan khilafah. Upaya menghadapi bencana berasaskan iman dan takwa. Sehingga potensi bencana alam dapat dikelola dengan kebijakan yang benar. Tidak hanya berasaskan pada pertimbangan rasional, tapi juga berasaskan syariah. Jelas, bukan berasaskan pada pencitraan yang dibangun di atas kebohongan dan keserakahan. Alhasil, niscaya membawa keberkahan dan keselamatan bagi negeri tercinta.

Wallahu a’lam bish-shawwab

 



from Suara Inqilabi https://ift.tt/gMBV1el
June 12, 2024 at 03:43PM

Belum ada Komentar untuk "BENCANA BERULANG: CERMIN KESENJANGAN ANTARA MITIGASI & RESIKO BENCANA"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel