Dampak Kenaikan Tarif PPN ke Produktifitas Petani

Dampak Kenaikan Tarif PPN ke Produktifitas Petani
Oleh : Lulu Sajiah, S.Pi
Pemerhati Agromaritim
Kenaikan pajak menimbulkan efek limpahan kepada semua kalangan, bahkan pada rakyat kecil dan pada semua sektor barang jasa. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Dr. M. Rizal Taufikurahman mengatakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan berdampak di berbagai sektor barang atau jasa, karena PPN sejatinya menempel ke barang dan jasa. Lanjutnya, ini akan menurunkan daya beli dan berakibat menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Sekadar untuk diketahui, kenaikan tarif PPN 12 % sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sejumlah dalih turut diungkapkan pemerintah terkait keputusan ini. Hal tersebut untuk meningkatkan pendapatan negara, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri serta untuk menyesuaikan dengan standar internasional.
Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan menilai pemberlakuan kenaikan PPN 12 % berdampak negatif terhadap sektor pertanian, kesejahteraan masyarakat terutama petani kecil, termasuk target swasembada pangan. Kenaikan PPN ini dapat membebani mereka karena peningkatan biaya produksi seperti pupuk, benih, dan alat pertanian yang bisa meningkatkan harga produk pangan. Harga jual produk pertanian berpotensi naik, sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Juga, kenaikan PPN menghambat swasembada pangan, dimana ketergantungan pada impor bisa meningkat jika petani kehilangan insentif untuk meningkatkan produktivitas.
Diperkuat dengan pernyataan Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria, PPN 12 % akan berdampak kepada sektor pertanian. Secara ekonomi, dampaknya akan membuat Produk Domestik Bruto (PDB) riil turun 0,03 persen, ekspor akan menurun 0,5 persen, dan inflasi akan naik 1,3 persen.
Dampak kenaikan PPN 1 % saja bisa menurunkan produksi, seperti rumput laut, tebu, itu salah satu sepuluh besar. Kemudian kelapa sawit, teh, jambu mete, kopi, dan lain sebagainya. Tarif PPN yang naik ini akan meningkatkan harga. Harga unggas akan naik 0,3 persen, harga susu segar yang akan menjadi komponen dalam makanan bergizi gratis juga naik. Padi juga naik harganya, meskipun tidak besar, 0,08 %. Lebih lanjut, kenaikan PPN juga disebut berdampak pada penurunan tenaga kerja, tenaga kerja rumput laut, karet, tebu, kelapa sawit, jambu, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, Arif mengakui bahwa dalam jangka pendek kebijakan ini dapat meningkatkan penerimaan negara. Namun, ia menekankan pentingnya perhitungan matang terhadap efek berganda atau multiplier effect yang lebih masif dari kebijakan fiskal tersebut. Hal ini terutama disebabkan oleh beberapa bahan pokok premium yang awalnya dibebaskan, tapi kemudian dikenakan PPN seperti daging dan beras premium.
Senada dengan Anggota Komisi IV DPR RI, Riyono, memandang kehadiran pajak tersebut akan semakin menyulitkan para nelayan yang sedang berusaha bangkit dari kondisi pandemi. Harga pakan para peternak, kenaikan PPN 11 % saja akan membuat produsen pakan menaikan harga pakan bisa sampai 5 %. Hal ini benar-benar menjadi bencana bagi sektor perikanan, pertanian, dan peternakan. Ini justru disinsentif yang bisa membuat mereka tambah miskin, dengan kenaikann 13,2 % orang miskin. Serta, kenaikan pajak membuat daya beli semakin turun dan mengancam pertumbuhan ekonomi nasional. Ini harusnya menyadarkan pemerintah bahwa kebijakannya salah. Arif menambahkan, berharap pemerintah benar-benar menghitung betul dampak dari PPN ini terhadap inflasi, tenaga kerja, ekspor, serta kenaikan harga komoditas.
Ada lima jenis pajak yang dipungut pemerintah berdasarkan undang-undang antara lain, Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dengan pungutan dari kelima jenis di atas, bahkan pajak dapat menyumbang lebih dari 80 persen APBN secara keseluruhan. APBN sangat bergantung pada pajak sehingga membuat perekonomian negara tidak memiliki akar pendanaan yang kuat.
Konsekuensi dari diterapkannya sistem sekuler kapitalisme saat ini, menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara. Penguasa hanya akan melayani kepentingan para pemilik modal dengan jumlah sedikit, bukan sebagai pengurus rakyat (raa’in). Jika pungutan pajak dilakukan secara terus-menerus tanpa memperhatikan kondisi masyarakat, maka akan menyengsarakan masyarakat meskipun kenaikan pajak ini hanya diberlakukan dengan selektif bagi barang dan jasa, namun sesungguhnya dampaknya dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Di sisi lain, negara tidak memiliki kekuasaan atas sumber daya alam yang ada. Sebaliknya, sumber daya alamnya justru diserahkan kepada pihak swasta (asing dan aseng).
Islam memandang, pajak (dharibah) merupakan opsi terakhir yang mungkin akan digunakan oleh negara ketika dalam kondisi kas benar-benar kosong. Mekanisme pungutannya pun hanya diambil dari para aghniya’ (orang kaya). Yakni seorang laki-laki yang hartanya telah digunakan untuk menafkahi kebutuhan keluarganya tapi masih berlebih. Selain itu, pajak dalam Islam tidak diambil secara terus-menerus, tapi bersifat insidental. Contohnya ketika suatu wilayah dilanda bencana alam dan kas negara kosong untuk memberi bantuan maka pengambilan pajak bagi orang kaya diperbolehkan. Namun ketika sudah tercukupi atau kas negara tidak lagi kosong maka pengambilan pajak pun dihentikan.
Selain itu, penguasa berperan sebagai raa’in (pelayan) dan bertanggungjawab penuh dalam menyejahterakan rakyat termasuk petani, peternak dan nelayan. Penguasa berkewajiban untuk tidak membuat rakyat menderita sebagaimana yang terjadi hari ini. Segala kebijakan dipikir secara mendalam demi memastikan berpihak untuk kemaslahatan umat. Kebutuhan petani disediakan dengan mudah terakses dan harga kejangkau petani. Hasil panen dijual dengan harga di pasar secara alami dalam arti pemerintah tidak ikut andil menentukan batas harga komoditi pertanian dan perternakan di pasar.
Kewajiban penguasa untuk mengelola sumber daya alam berdasarkan sistem politik dan ekonomi Islam yang hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat berupa fisilitas umum sehingga dapat memudahkan rakyat. Perwujudan kesejahteraan umat ini tidak lain adalah dengan menerapkan hukum Islam secara keseluruhan yang telah diturunkan oleh Allah SWT.
Wallahu’alaam bishshawaab.
from Suara Inqilabi https://ift.tt/g7zjVKA
January 23, 2025 at 05:35AM
Belum ada Komentar untuk "Dampak Kenaikan Tarif PPN ke Produktifitas Petani"
Posting Komentar