Pinjol Masuk ke Dunia Pendidikan, Dimana Peran Negara? 


Pinjol Masuk ke Dunia Pendidikan, Dimana Peran Negara? 

Oleh: Uswatun Khasanah (Muslimah Brebes) 

 

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mendukung diskusi pemberian pinjaman mahasiswa atau pinjaman online (pinjol) untuk membayar biaya pendidikan mereka melalui perusahaan P2P lending di lingkungan akademik sebagai bentuk inovasi teknologi.

 

Langkah ini menanggapi dorongan DPR RI agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bekerja sama dengan BUMN dalam upaya memberikan bantuan dana biaya pendidikan untuk membantu mahasiswa meringankan pembayaran.

 

“Pinjol ini memang sudah mengandung arti kesannya negatif. Tetapi, kan ini sebuah inovasi teknologi. Akibat dari kita mengadopsi teknologi digital terutama, dan ini sebetulnya kan peluang bagus asal tidak disalahgunakan dan tidak digunakan untuk tujuan pendidikan yang tidak baik,” ungkap Muhadjir dalam konferensi pers di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu (3/7/2024). (tirto.id, 3 Juli 2024).

 

Muhadjir menilai saat ini fungsi pinjol sudah seharusnya bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Ia menilai pendanaan inovasi teknologi di perguruan tinggi melalui pinjaman sebenarnya merupakan peluang besar, namun seringkali disalahgunakan.

 

Muhadjir menegaskan, pinjaman online tidak bisa disamakan dengan perjudian online yang dilarang secara hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

 

Muhadjir mengatakan dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengatur penggunaan pinjaman online di ruang akademik. Muhadjir meyakini kehadiran Pinjol di dunia akademis dapat membantu mahasiswa yang kesulitan membiayai studinya.

 

Sementara itu, Muhadjir juga menjelaskan, setidaknya ada 83 perguruan tinggi yang menggunakan mekanisme pembayaran pinjaman online koperasi resmi untuk biaya kuliah. Pinjaman yang disetujui Muhadjir bersifat resmi, akuntabel, transparan dan dijamin tidak merugikan mahasiswa.

 

Kenyataan ini menegaskan bahwa perdebatan tentang UKT belum berakhir. Banyaknya kasus mahasiswa di kampus-kampus di berbagai negara yang tidak membayar UKT bukan berarti pemerintah sampai pada titik membatalkan kenaikan UKT secara permanen, meski harus digratiskan. Pembatalan kenaikan tarif UKT 2024 hanya bersifat sementara dan harus menunggu hingga tahun depan.

 

Namun menjadikan pinjol sebagai solusi pembayaran UKT jelas memposisikan pemerintah sebagai ‘Raja Tega’. Hal ini semakin merugikan masyarakat. Daripada mencoba untuk berbelas kasih karena masyarakat sudah berjuang dengan banyak masalah keuangan, pemerintah malah mengusulkan untuk mengambil pinjaman untuk membayar UKT, sehingga menambah beban di masa depan. Semua orang sepertinya sudah tahu kalau pinjol adalah pintu gerbang jebakan ribawi. Pinjol tidak lebih baik dari judol.

 

Berdasarkan laporan OJK, nilai alokasi pinjaman Indonesia mencapai Rp22,76 triliun per Maret 2024. Jumlah nominalnya meningkat 8,89% dari bulan sebelumnya atau Rp20,90 triliun. Jumlah pembayaran pada Maret 2024 pun melonjak sekitar 15,35% dibandingkan periode yang sama tahun lalu hingga mencapai Rp19,73 triliun per Maret 2023.

 

Alokasi pinjaman Maret 2024 akan disalurkan ke 9,78 juta rekening penerima pinjaman. Jumlah peminjam meningkat sebesar 6,36% bulan ke bulan. Terdapat 7,3 juta rekening peminjam di Pulau Jawa atau setara dengan 75% dari total jumlah peminjam di Tanah Air. Dari total pinjaman Maret 2024, sebesar Rp7,65 triliun atau 33,61% disalurkan ke sektor produktif.

 

Berkaitan dengan hal tersebut, pantaslah kita menggambarkan sisi lain dari realitas penghidupan masyarakat. Hingga Maret 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 25,22 juta jiwa. Jumlah ini turun 0,33% dibandingkan tahun 2023 sebanyak 25,9 juta orang. Dilihat dari data tersebut, penurunan angka kemiskinan di perdesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan. Meskipun demikian, kesenjangan kemiskinan perkotaan dan pedesaan masih besar. Pada Maret 2024, angka kemiskinan di perdesaan mencapai 11,79% dan angka kemiskinan di perkotaan menjadi 7,09%.

 

Secara nasional, angka kemiskinan turun di seluruh wilayah Indonesia. Pada saat yang sama, ada juga kelompok yang berusaha keras untuk menguntungkan diri sendiri dan kroni-kroninya melalui jaringan oligarki. Belum lagi meningkatnya penguasaan pihak swasta (lokal/asing) terhadap sektor-sektor sumber daya alam strategis yang benar-benar milik rakyat. Padahal, semua langkah tersebut erat kaitannya dengan perspektif kapitalis.

 

Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap konsekuensi status Universitas Nasional Berbadan Hukum (PTN-BH) yang juga merupakan bagian dari amanat Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang menyesatkan. Meski pemerintah tidak mau disalahkan atas “penghapusan subsidi biaya pendidikan tinggi”, kenyataannya tidak bohong. Bagi PTN (PTN-BH) yang sudah berbadan hukum, kinerja pembiayaannya tidak bisa hanya mengandalkan subsidi.

 

Padahal, sesuai surat UU Dikti, PTN seharusnya bisa mengurangi UKT, yakni mengurangi ketergantungan terhadap APBN dengan mencari sumber pendanaan lain. Kenyataan menyakitkan ini juga seolah membuktikan bahwa besaran dana APBN yang dialokasikan untuk pendidikan “tidak pernah cukup”.

 

Padahal, sesuai surat UU Dikti, PTN seharusnya bisa mengurangi UKT, yakni mengurangi ketergantungan terhadap APBN dengan mencari sumber pendanaan lain. Kenyataan menyakitkan ini juga seolah membuktikan bahwa besaran dana APBN yang dialokasikan untuk pendidikan “tidak pernah cukup”.

 

Hal ini terlihat dari rendahnya anggaran pendidikan yang hanya menyumbang 20% dari APBN. Pendanaan ini masih perlu dialokasikan ke banyak posisi pendidikan. Sektor pendidikan tinggi hanyalah salah satunya. Secara riil, jumlah tersebut jauh dari cukup untuk mendanai 85 PTN di seluruh Indonesia.

 

Oleh karena itu, upaya peningkatan UKT muncul sebagai cara tercepat bagi kampus untuk mendapatkan pendanaan baru. Ini belum termasuk biaya lain seperti biaya pendaftaran. Jadi wajar saja, pada akhirnya UKT bukannya menjadi lebih murah, malah sebaliknya.

 

Pada titik ini, kita harus menyadari bahwa skema pinjaman pendidikan telah menjelaskan bahwa masyarakat diharuskan membiayai sendiri pendidikan tinggi apapun yang terjadi. Meskipun pemerintah tampaknya berusaha memberikan banyak alasan, seperti mengeluarkan kebijakan untuk bekerja sama dengan lembaga pemberi pinjaman resmi, pemerintah tetap tidak bisa menyembunyikan perilaku lepas tangan dalam tanggung jawabnya untuk mendidik masyarakat.

 

Di satu sisi, ketika perdebatan UKT menekankan pada kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan, pemerintah tidak memberikan kontribusi solusi dengan mencoba mengembalikan subsidi, namun justru menawarkan solusi pragmatis yang menambah permasalahan baru. Jika pinjol memang menjadi solusi, ini adalah kebijakan yang membuat masyarakat terjebak dalam pelarangan. Pinjol tidak mungkin lepas dari sistem bunga (riba).

 

Oleh karena itu, tidak berlebihan jika kita menilai bahwa keadaan ini justru menunjukkan bahwa pemerintah tidak memberikan kontribusi apa pun dalam mewujudkan pendidikan sebagai hak masyarakat. Sektor publik yang seharusnya merupakan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat, namun kini telah dikomersialkan. Sementara itu, sumber utama penerimaan negara adalah pajak yang dihasilkan dari penindasan terhadap rakyat.

 

Drama pinjaman pembiayaan pendidikan ini merupakan wujud nyata liberalisasi pendidikan. Ini harus dihentikan. Bahkan sistem sekuler liberal yang melahirkannya harus digantikan dengan sistem yang efektif yaitu sistem Islam.

 

Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah sekuler untuk lebih lepas tangan dalam mendanai pendidikan kewarganegaraan juga jelas bersifat otoriter karena tidak memberikan banyak hak bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Hal ini mengancam kualitas sumber daya manusia masyarakat sehingga sulit bersaing di kancah dunia.

 

Di dalam Islam, sumber pembiayaan pendidikan bisa berasal dari sejumlah pihak, yakni dari individu warga secara mandiri, infak/donasi/wakaf dari umat untuk keperluan pendidikan, serta pembiayaan dari negara. Bagian pembiayaan dari negara inilah yang porsinya terbesar.

 

Bersamaan dengan itu, Islam tidak akan membiarkan adanya celah yang memungkinkan pendanaan pendidikan secara haram. Dengan sistem ekonomi Islam memiliki banyak mekanisme sehingga harta yang masuk ke baitulmal adalah harta yang halal dan berkah.

 

Islam juga menetapkan sejumlah pos pemasukan negara di baitulmal untuk memenuhi anggaran pendidikan. Di antaranya dari pendapatan kepemilikan umum seperti tambang minerba dan migas. Juga fai, kharaj, jizyah, dan dharibah (pajak). Khusus untuk pajak, hanya diambil dari rakyat pada saat kas baitulmal kosong dan dikenakan hanya pada orang kaya laki-laki.

 

Selain pembiayaan, negara Islam juga menjamin keberlangsungan sistem pendidikan tersebut. Hal ini dalam bentuk jaminan dan realisasi pembangunan infrastruktur pendidikan, sarana dan prasarana, anggaran yang menyejahterakan untuk gaji pegawai dan tenaga pengajar, serta asrama dan kebutuhan hidup para pelajar, termasuk uang saku mereka.

Wallahu’alam bish-shawwab



from Suara Inqilabi https://ift.tt/IYHkdP0
July 13, 2024 at 10:56AM

Belum ada Komentar untuk "Pinjol Masuk ke Dunia Pendidikan, Dimana Peran Negara? "

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel