IWD, Manipulasi Sekularisme Demi Menghambat Kebangkitan Umat


IWD, Manipulasi Sekularisme Demi Menghambat Kebangkitan Umat

Novi Anggriani, S.Pd

Kontributor Suara Inqilabi

International Women’s Day (IWD) menjadi hari spesial bagi perempuan untuk menyampaikan aspirasi dan gagasan yang dimiliki sekaligus ajakan bagi perempuan yang lain untuk mengemban peran yang sama dalam memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam memilih jalan hidup. Baik peran perempuan dalam dunia kerja maupun pemerintahan.

Sejarah Terbentuknya International Women’s Day

Lahirnya IWD sebagai hari peringatan bagi perempuan tidak terlepas dari sejarah kelam yang dialami perempuan di New York, Amerika Serikat, pada 8 Maret 1857. Para buruh perempuan pabrik garmen melakukan protes besar-besaran kepada tempat kerja yang memperlakukan mereka secara tidak manusiawi dan pendapatan yang rendah. Pada 8 Maret 1908 sekitar 15.000 buruh perempuan di kota yang sama kembali melakukan unjuk rasa untuk menuntut jam kerja yang lebih pendek dan kebebasan dalam berpendapat.

Di Eropa pada kurun 1913-1914, hari perempuan internasional digunakan sebagai gerakan penolakan Perang Dunia ke-1 sebagai aksi solidaritas sesama perempuan. Faktor lain yang mendorong lahirnya IWD berasal dari kejadian yang mengenaskan perempuan pada kebakaran pabrik Triangle Shirtwaist tahun 1911 yang menewaskan 123 buruh perempuan.

Peringatan IWD sempat hilang dan kembali dihidupkan pada era 60-an yang berbarengan dengan bangkitnya feminisme. Pada tahun 1973, PBB pertama kali memperingati hari perempuan internasional dan menetapkannya pada 8 Maret dan hingga saat ini tetap diselenggarakan setiap tahun dengan tema yang berbeda-beda. Meski begitu, fokusnya tetap pada peningkatan peran perempuan dalam dunia kerja dan kesetaraan gender sebagai solusi dalam melindungi perempuan dari diskriminasi (okezonenews.com).

International Women’s Day Mengarahkan Perempuan ke Arah Investasi

Dilansir dari situs resmi UN Women, Hari Perempuan Internasional 2024 mengusung tema ‘Invest in women: Accelerate progress’ yang artinya ‘Berinvestasi pada perempuan: Mempercepat kemajuan’. Mereka menganggap, terwujudnya kesetaraan gender dan kesejahteraan perempuan di semua aspek kehidupan menjadi semakin penting jika ingin menciptakan perekonomian yang sejahtera serta kehidupan yang sehat untuk generasi mendatang.

Kepala Program UN Women Indonesia, Dwi Faiz, menyebut bahwa menjamin pemenuhan hak-hak perempuan dan anak perempuan di seluruh aspek kehidupan adalah satu-satunya cara untuk memastikan perekonomian yang sejahtera dan adil, planet yang sehat untuk generasi mendatang, dan tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Berdasarkan tema tersebut, investasi terhadap perempuan secara konkret bisa dilakukan dalam dua hal yakni investasi publik terhadap kebutuhan perempuan dan investasi sektor swasta.

Dari level individu bisa dengan investasi waktu untuk belajar, melakukan aktivitas komunitas. Itu bisa jadi investasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil. Sementara dari sisi pemerintah, beberapa hal konkret yang bisa dilakukan adalah alokasi dana publik untuk menunjang kesetaraan gender. Ini bisa berupa penyediaan penitipan anak, atau misalnya fasilitas dan subsidi untuk melakukan pekerjaan perawatan, itu dibutuhkan dana lebih banyak lagi dan mungkin akan memberikan dampak yang luar biasa.

Sekularisme Perempuan Terpisah dari Fitrah

Menelaah tema IWD tahun ini, maka hal itu tidak terlepas dari peran perempuan dalam membangun roda perekonomian negara. Diskriminasi pada perempuan dalam dunia kerja yang selalu digaungkan sebagai problem utama mereka, nyatanya bukan menjadi persoalan paling asasi.Tuntutan mereka untuk diperlakukan setara dalam produktivitas berekonomi lah yang justru harus diluruskan. Masyarakat kapitalis tidak didesain untuk memikirkan nasib orang lain, melainkan hanya peduli dengan dirinya. Maka percuma para perempuan berharap perubahan nasib mereka, jika tuntutan itupun hanya disampaikan ke sesama. Oleh karena itu, peringatan IWD tidak akan mampu secara tuntas menyelesaikan masalah umat, dan justru umat gagal memahami akar persoalan yang sebenarnya.

Selain itu, pemberdayaan perempuan untuk bekerja justru menimbulkan masalah baru karena pengalihan fungsi perempuan sebagai pendidik generasi dari keluarganya. Mereka dialihkan menjadi penolong suami, atau bahkan tulang punggung keluarga. Pad akhirnya terjadi benturan antara perannya dengan laki-laki dengan mengatasnamakan kesetaraan gender. Perempuan dituntut untuk bersaing dengan laki-laki dalam hal karir dan kemampuan untuk bekerja. Padahal, suka tidak suka ada peran berbeda pada diri para perempuan, yang tak semuanya bisa dialihkan kepada pihak lain, atau bahkan pada pasangannya sendiri.

Seluruh ide di atas justru sama-sama menumpulkan peran perempuan dan laki-laki dalam aspek fitrahnya sebagai hamba Allah yang telah diciptakan dan diatur sesuai kemampuan biologis masing-masing. Tuntutan-tuntutan tersebut justru meningkatkan konflik di antara keluarga ketika memakai konsep kesetaraan gender. Jadi, solusi dari IWD untuk kesejahteraan perempuan dalam melibatkannya untuk kemajuan ekonomi tidak tepat. Pemebrdayaan perempuan dalam ekonomi hari ditinjaunulang, karena selama masyarakat masih dalam paradigma seperti saat ini, maka selamanya perempuan akan tetap berada di posisi sebagai budak perusahaan.

Gagalnya manusia dalam membuat solusi adalah buah dari kegagalan negara membangun manusia. Dan ini tidak terlepas dari mengakarnya sekularisme dengan asas kehidupan berupa pemisahan antara agama dari kehidupan. Negara hanya berfokus pada pembangunan ekonomi bukan menyelesaikan persoalan yang terjadi. Sehingga perempuan dibina secara individu untuk memiliki kemampuan yang mendukunh eksistensinya dalam dunia kerja, bukan membangun mindset serta kesiapannya menjalankan kewajiban sebagai pendidik generasi. Begitupun peran perempuan sebagai seorang ibu yang juga adalah madrasatul ula, saat ini justru digeser menjadi pekerja.

Islam Solusi Hakiki bagi Perempuan dan Keluarga

Sekularisme akan terus mengakar selama Islam masih asing di tengah-tengah umat. Padahal Islam adalah ideologi yang benar dalam menyelesaikan akar persoalan umat dari segi sejarah kejayaan Islam maupun dari tinjauan syariat, yang mana perempuan amat sangat dimuliakan. Hal ini bisa kita lihat ketika pada masa Khalifah Umar bin Khattab, beliau mendengar pendapat perempuan mengenai besaran mahar. Umar ra. yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, langsung membatalkan keputusannya, karena memang dalam Islam suara laki-laki dan perempuan tak dibedakan. Jika itu masih dalam kerangka keimanan, ketakwaan, serta kebaikan umat, maka aspirasi mereka pasti akan difasilitasi.

Selain itu, pada masa kekhilafahan Al-Mu’tashim Billah, seorang perempuan dizhalimi oleh pihak Romawi. Maka ketika kabar tersebut sampai pada khalifah, ia selaku kepala negara menjalankan perannya sebagai pelindung dengan mengirim tentara untuk menyelamatkan perempuan tersebut.

Semua itu tidak terlepas dari ketakwaan para pemimpin dalam mengurusi umatnya. Mereka tahu betul bahwa di tangan perempuan lahirlah para pejuang Islam, penegak agama Allah. Jadi, Khalifah begitu melindungi perempuan dan memfasilitasi setiap kebutuhannya dengan tetap menjaga hak dan kewajiban mereka sebagai hamba Allah yaitu memiliki pendidikan setinggi-tingginya untuk mendidik anak-anaknya tanpa mengeksploitasi mereka sebagai alat pembangun ekonomi negara.

Pembangunan ekonomi adalah tugas negara, bukan tugas individu rakyat apalagi perempuan. Pun jika taklif ekonomi secara personal ada pada pundak para laki-laki sebagai wali bagi keluarganya, maka negara tetap memiliki peran besar dalam mengontrol. Di dalam Islam tidak ada istilah kesetaraan gender, bahkan hal ini sama sekali tidak dibutuhkan. Karena laki-laki dan perempuan dipandang setara oleh Allah, namun memang punya peranan masing-masing sesuai syariat yang telah sempurna Allah ciptakan. Sehingga pemikiran untuk bersaing dalam berekonomi tidak ada di dalam Islam.

Selain itu laki-laki memiliki peran sebagai kepala keluarga yang dapat merealisasikan kewajibannya sebagai pencari nafkah. Perempuan ketika memiliki keahlian tetap diperbolehkan untuk memberikan kemaslahatan dengan kemampuannya tersebut tanpa melalaikan kewajibannya sebagai pengurus rumah tangga. Tentu dengan dukungan negara, agar ia tak sampai mendahulukan kebolehan bekerja di atas kewajiban-kewajiban lainnya.

Begitulah Islam mengatur manusia. Generasi mulia akan terus lahir dari perempuan yang bertakwa menikmati fitrahnya sebagai ibu dan hamba Allah. Begitu pula laki-laki akan dibina dengan ketangguhan terbaik untuk menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam peranannya menunaikan kewajiban mencari nafkah. Semua itu merupakan harmonisasi keluarga yang tercipta tanpa adanya konflik antar keluarga. Karena mereka sudah dididik dengan mafhum Islam dan peranan itu menjadi kunci bahwa mereka hidup bukan untuk memilih jalan hidup semaunya melainkan sebagai hamba Allah, bukan hamba hawa nafsu.

Wallahu a’lam Bish-shawwab.



from Suara Inqilabi https://ift.tt/ZixeBzc
April 13, 2024 at 05:10AM

Belum ada Komentar untuk "IWD, Manipulasi Sekularisme Demi Menghambat Kebangkitan Umat"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel